Anak dan Media
Tergelitik
akan sebuah tweet seorang teman di malam sumpah pemuda
Sadar
ga sadar, keadaannya memang demikian
Pas
gue kecil, banyak banget lagu anak-anak yang “benar-benar” menggambarkan
bahagianya masa kanak-kanak dan menjadi anak-anak yang selalu ceria, bermain
dengan penuh canda tawa dan penuh rasa ingin tahu akan suatu hal. Ya penyanyi
cilik macam Sherina, Trio Kwek-kwek, Joshua, Chikita Meidy, Maissy, Agnes
Monica, dan sejumlah penyanyi cilik lainnya selalu menggambarkan masa
kanak-kanak yang bahagia, yang selalu ingin mencapai cita-cita setinggi mungkin
dengan giat belajar, menjaga kebersihan dan kesehatan, berbagai hal positif
lainnya yang dituangkan dalam lagu-lagu mereka. Dan itu cukup memotivasi
menurut gue.
Pas
gue udah gede, gue jarang nemu lagu-lagu kaya gini. Mungkin penyanyi cilik ada,
cuma ga seheboh dulu. Ada beberapa, tenar karena lagu tentang cinta.
Sebenernya, itu nggak cocok buat umurnya yang menurut gue belum pantas untuk
cinta-cintaan. Cuma mengutip kata-kata temen gue, rata-rata musisi udah
orientasi ‘makan apa gue besok’ (Pandianuraga 2012).
Lebih
sedih lagi saat gue ngeliat tweet temen gue yang lain
Entah
ini temen gue nemu tuh anak kecil dimana, tapi pas gue konfirmasi bener apa
ngga, ya memang iya temen gue ketemu sama si bocah-bocah itu. Oke, pacaran anak
kecil ngga bisa disamain sama pacarannya orang dewasa (itu sudah pasti), tapi
si anak dapet tuh konsep “pacaran” dari mana -,,-
Sebenernya
ngga perlu heran juga sih ya, ini semacam pengaruh perkembangan zaman saat ini,
dimana kemajuan teknologi ikut andil dalam hal ini. salah satunya pengaruh
media. Film anak-anak suka disisipin juga tentang cinta-cintaan, memang secara
kasat mata nyisipinnya, cuma dari situ anak bisa meniru. Belum lagi sinetron
yang isinya muter-muter disitu aja, buat emaknya yang suka nonton sinetron yang
ngga bisa diganggu gugat sehingga mau ngga mau anak juga ikutan nonton sinetron
yang isinya cinta, dendam, benci, dan hidup mewah (asaan kalo di sinetron teh
hidup enak-enak aja, mau minta apapun sok tinggal tunjuk, gaya hidup modern wak
ceunah mah). Mau ngga mau balik lagi ke pendapat temen gue, orientasi mereka
“mau makan apa besok” jadi semua pihak berlomba-lomba membuat sesuatu yang
banyak peminatnya, termasuk dalam hal ini.
Oke,
gue sendiri memang belum punya pengalaman memiliki anak dan menjadi orang tua.
Tapi peran orang tua memang sangat penting kalo menyikapi anak yang seperti
ini. bonding mereka harus kuat, anak merasa diterima dan diperhatikan. Bukan
masalah melarang anak pacaran, boleh pacaran asal mungkin kalo udah umurnya misal pas
udah usia 17 tahun. Anak pun harus didampingi saat menonton televisi, sehingga
orang tua bisa memberikan penjelasan yang tepat, anak tidak menyimpulkan
sendiri dari apa yang dia lihat. Jelas ini menjadi susah ketika kedua orang tua
bekerja semua (masalah ini nanti dibahas setelah penelitian gue selesai kali
ya, untuk saat ini gue ngga berani berspekulasi terlalu banyak hahaha). Memang,
peran dan perhatian orang tua sangat berpengaruh, bro! dan yang harus diingat,
orang tua itu role model bagi anak,
mau ngga mau, anak pasti akan meniru orang tuanya, mungkin ini awal mula ada
pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”.
Ada
film bagus, judulnya Cita-Citaku Setinggi Tanah, karya Eugene Panji. Film layar
lebar. Di film itu dikisahkan tentang 4 sahabat, Agus, Jono, Sri (yang maunya
dipanggil Mey) dan Puji, yang mendapat tugas sekolah untuk menuliskan
cita-citanya. Jono bercita-cita menjadi tentara (dalam kesehariannya dia memang
suka memimpin, jadi ketua kelas mulu), Mey yang ingin jadi artis yang selalu
mendapat dorongan dari orang tuanya, dan Puji yang memiliki cita-cita ingin
membahagiakan orang lain. Sedangkan cita-cita Agus, ingin makan di rumah makan
Padang. Jelas dia ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi di film itu,
benar-benar diperlihatkan bagaimana si Agus berusaha untuk mewujudkan mimpinya
itu. Ayahnya hanya bekerja di pabrik tahu dan ibunya ibu rumah tangga yang selalu
masak tahu bacem setiap harinya. Berbagai cara Agus lakukan, dengan menabung
(dia menahan dirinya untuk tidak mengikuti hawa nafsu untuk jajan terlalu
banyak), menjual keong sawah, membantu mengantar ayam potong ke rumah makan,
untuk dapat mewujudkannya menggunakan uangnya sendiri. Bukan masalah cita-citanya yang mungkin menurut
kalian cetek, tapi usahanya, kerja kerasnya dalam mewujudkan mimpi itu yang
membuatnya bermakna. “Cita-cita itu bukan untuk ditulis, tapi untuk diwujudkan.
Rejeki itu sudah ditetapkan oleh Yang Di Atas, tinggal menunggu waktu yang
tepat dan bagaimana caranya ia turun ke kita dengan usaha yang kita lakukan”.
sayangnya, sepertinya film ini kurang mendapat peminat dari masyarakat banyak.
Sedikit
komentar bukan untuk menggurui atau apapun itu, ini pendapat gue karena gue
juga belajar tentang perkembangan anak. So, apa komentar kalian?
0 comments: