SENYAP / THE LOOK OF SILENCE ...
Yang lalu biarlah
berlalu...
Yang sudah biarlah
sudah...
Kira-kira seperti itulah ungkapan para keluarga korban pembantaian massal selama kurang lebih 49 tahun. Dan kalimat itulah yang membuka peluncuran film Senyap / The Look of Silence tepat di hari pahlawan (10/11) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Saya merasa beruntung karena berkesempatan untuk turut hadir dalam acara tersebut.
Senyap merupakan film dokumenter karya Joshua Oppenheimer
setelah Jagal / The Act of Killing yang meraih banyak penghargaan sejak
diluncurkannya pada tahun 2012. Film ini masih mengambil tema sentral
Pembantaian Massal di tahun 1965. Jika Jagal mengisahkan dari segi pembunuh,
dengan tokoh utama Anwar Congo sebagai algojo dan memproyeksikan perbuatannya
sebagai tindakan yang heroik dalam sebuah film, maka Senyap lebih mengangkat
dari segi korban (keluarga korban). Bagaimana seorang Adi Rukun, adik dari
salah satu korban pembantaian di tahun tersebut, menemui satu per satu pembunuh
kakaknya. Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk memenuhi rasa ingin
tahunya dan meluruskan fakta agar semuanya menjadi lebih jelas.
Postcard Film Senyap sebagai souvenir premiere Film Senyap di TIM |
Antrian registrasi ulang peluncuran perdana Film Senyap |
Di awal pembukaan acara tersebut, perwakilan dari Komnas HAM mengatakan tidak bisa menghadirkan Adi Rukun, sang tokoh utama Film Senyap, demi keamanan dirinya dan keluarganya. Namun, yang sangat tak disangka (bagi saya), setelah film selesai Adi Rukun naik ke atas panggung untuk sesi tanya jawab. Ada sekelumit rasa haru dan bangga akan keberaniannya saat melihat sosok pemeran utama Film Senyap, hingga kami pun memberikan standing applause untuk beliau. Beliau menceritakan sedikit banyak mengenai keinginannya menemui para pembunuh kakaknya dan perasaan terdalamnya saat menjalani proses tersebut (bertemu para algojo). Suaranya terdengar menahan tangis dan sakit hati saat para jagal mengatakan ingin diberi penghargaan atas “tindakan heroik” mereka.
Adi Rukun saat sesi Tanya Jawab. Ibu berkerudung biru tersebut merasa senasib karena kakeknya menjadi korban dalam pembantaian massal tersebut |
Waktu yang terbatas karena jam 18.00 akan ada pemutaran
filmnya kembali, sesi tanya jawab pun hanya sebentar. Adi Rukun kembali dibawa
ke backstage.
REVIEW SINGKAT
Film Senyap mengambil latar di Deli Serdang dan Serdang
Bedagai, Sumatera Utara. Keluarga Adi tinggal di Sei Rampah, ayah dan ibunya
sudah tua renta. Kakaknya, Ramli, menjadi salah satu korban kekejaman tersebut
karena dianggap PKI. Keinginan Adi untuk menemui satu per satu pembunuh
kakaknya muncul ketika Adi mengunjungi orang tuanya dan bertemu Joshua yang
tengah membuat film pembantaian massal tersebut. Dalam film tersebut, terlihat
Adi selalu menonton hasil rekaman Joshua dengan para algojo yang sangat bangga
dengan perbuatannya dan menganggapnya sebagai aksi heroik untuk membela negara.
Adi Rukun saat melihat rekaman wawancara Joshua dengan para algojo daerahnya |
Adi Rukun saat menemui Amir Siahaan (salah satu algojo) |
Berbagai reaksi muncul ketika Adi berkata yang sesungguhnya. Suasana
menjadi senyap. Ada yang meminta maaf, ada yang hanya diam dan tidak mau
disalahkan, bahkan ada yang marah karena diungkit masa lalunya. Padahal semula
mereka bangga menceritakan tindakan ‘heroik’-nya. Miris. Salah satu penjaga
tahanan (bioskop) adalah paman Adi, yang sudah tentu paman Ramli. Saat Adi
bertanya kenapa paman tidak menolong Ramli padahal tahu keponakannya ditahan di
tempat tersebut, ia hanya mengatakan saya membela negara. Sang ibu protes
membela negara siapa, negara apa saat Adi bercerita sepulang dari rumah
pamannya.
Ramli sendiri ditangkap karena ‘dituduh’ PKI. Ia ditahan di
bioskop Sialang bersama para ‘PKI’ lainnya. Mereka disiksa dengan keji. Singkat
cerita, Ramli membuat keributan saat dibawa ke Pasar Baru dan berhasil kabur. Ramli
pulang ke rumah orang tuanya dengan kondisi tubuh penuh luka dan usus yang
hampir terburai. Sang Mamak dan anggota keluarga lainnya berusaha mencari
pertolongan namun para algojo (Amir Hasan dan anak buahnya) menjemputnya dengan
jip dengan dalih ‘akan diobati’ dan keluarga tidak boleh ikut.
Ada sebuah scene
yang menampilkan rekaman Amir Hasan dan Inong yang dengan bangga memperagakan cara
mereka membunuh para PKI. Kemudian saya membenarkan apa ungkapan para algojo di
film sebelumnya The Act of Killing
yang berbunyi, “Kalau seperti ini, ternyata lebih kejam kita dibandingkan PKI”.
Sebuah tindakan yang tidak manusiawi, ketika orang disiksa begitu keji, kepala
dipenggal, kelamin dipotong, dan berbagai tindakan keji lainnya. Dalam rekaman
tersebut, Alm. Amir Hasan juga memamerkan karyanya berjudul Embun Berdarah,
yang bercerita tentang tindakan heroiknya memberantas PKI di daerahnya secara
gamblang disertai sketsa adegan. Namun sayang, saat Adi ke rumah Amir Hasan dan
bertemu dengan istri serta anaknya, sang anak merasa marah karena merasa dibuka
‘masa lalu’-nya dan mengungkit tindakan ayahnya yang telah wafat.
Satu scene yang
membuat saya sangat terenyuh ketika Mamak dan Adi menemui Kemat, salah satu
korban yang selamat dalam insiden 1965. Saat itu Kemat dan Ramli melarikan diri
bersama. Jika Ramli memilih pulang ke rumah, Kemat memilih untuk bersembunyi
dan lepas dari kejaran para algojo. Mamak langsung memeluk erat Kemat,
menangis, sambil berkata, “kamu selamat...”. Kemat hanya menjawab, “sudah Mak,
yang sudah biarlah sudah. Kita doakan saja Ramli disana...”
Secara keseluruhan, film ini berhasil menyentuh hati dan
membuka pikiran saya. Selain itu, Senyap lebih mudah dipahami dibandingkan
Jagal dan membuat saya ingin menontonnya lagi. Selama ini kita selalu didoktrin
untuk membenci PKI dan segala yang berbau komunis di Indonesia. Di sekolah pun
masih terjadi hal yang demikian (di film diperlihatkan ketika anak Adi sekolah
dan sang guru mendoktrin para muridnya bahwa PKI itu kejam, sadis, dsb). Namun,
ketika melihat kedua film dokumenter Joshua kita akan berpikir ulang, siapa
yang sebenarnya kejam. Saya tidak tahu karena memang saya belum lahir pada masa
itu. Maka dari itu, saya tertarik untuk membaca atau menonton film yang
berhubungan dengan hal ini.
Judul film ini memiliki banyak arti menurut saya. Ketika para
algojo dan keluarga bangga akan ‘tindakan heroik bela negara’, suasana menjadi
SENYAP ketika Adi mengaku dirinya adik dari salah satu korban. Atau bisa jadi
karena keluarga korban memilih untuk SENYAP dan tidak mengungkit kenangan pahit
tersebut demi keamanan keluarganya ke depan saat tinggal di antara para algojo.
Seperti yang biasa mereka katakan, yang
lalu biarlah berlalu, yang sudah biarlah sudah...
dari kecil kita semua sudah dapat doktrin begitu. Apapun kejahatannya,,,ya harusnya hukuman g boleh sekeji itu. Bunuh saja langsung. Atau buang saja ke pulau seberang.
ReplyDeleteiya, istilah G30S pun harus ditempelin PKI. Hasil visum para jenderal yang dibuang ke lubang buaya pun katanya tidak sesuai dengan apa yang mereka gembar gemborkan. Rezim orde baru benar-benar 'punya andil' dalam seluruh rangkaian kejadian ini. Seperti kata keluarga korban, "Serahkan saja pada Yang Di Atas. Biar Tuhan yang membalas."
Delete