Kapan Mau Pulang?
“Nok*, kamu mau pulang kapan?”
Sepi. Begitu kata Mamak (panggilan
ibu saya) ketika saya menelpon beliau pagi itu. Dan rasa sepi itu selalu
berujung dengan pertanyaan “kapan mau pulang”.
Ah Mak,
andai aku disini sudah bisa minimal ngontrak rumah, rasanya pengen aku ajak
Mamak serta Abah tinggal bersama di kota perantauan ini
17 tahun tinggal bersama di sebuah
kota kecil di Jawa Tengah, lalu setahun kemudian harus merantau demi meraih
masa depan. Sejak kecil saya tidak pernah terpikir untuk tinggal jauh dari
orang tua, begitu juga dengan Mamak. Saya bungsu dari 2 bersaudara. Di tahun
yang sama saat saya harus merantau ke Bogor untuk menimba ilmu, kakak saya juga
harus meninggalkan rumah karena mengabdi pada sang suami dan menetap di
Salatiga.
“Kamu pikirin mateng-mateng mau diambil atau nggak kesempatan ini. Pikirin masa depan, pengen jadi apa kamu ke depannya. Yang mau masuk ke kampus itu pasti banyak, dan kamu lolos. Jauh dari Mamak nggak apa-apa asal kamu bisa kuliah, karena Mamak sama Abah nggak bisa warisin harta buat kamu. Cuma ini yang Mamak sama Abah bisa kasih, biar kamu bisa sukses.”
Sebuah nasihat dari Mamak saat saya
bimbang untuk mengambil kesempatan tersebut.
Juni 2009. Semua telah siap. Mamak
dan Abah memenuhi undangan pertemuan orang tua mahasiswa dan saya bersiap masuk
asrama. Rasanya berat beberapa jam lagi mereka pulang ke rumah dan saya sendiri
di asrama tanpa mereka. Masih jelas teringat saat Mamak memeluk saya ketika
berpamitan pulang. Hati-hati, jangan lupa salat, begitu
katanya.
Ingin menangis tapi harus ditahan karena takut Mamak akan khawatir. Setelah
mereka pulang, barulah saya menangis.
Telepon di akhir minggu menjadi
rutinitas wajib sejak saat itu. Biasanya kita bisa bercerita banyak secara
langsung, kini semua bergantung pada pulsa dan sinyal telepon.
“Kamu udah makan, Nok? Jangan bolong-bolong makannya nanti sakit. Kamu kan jauh dari orang tua jadi harus bisa jaga kesehatan.”
Begitu kata Mamak di setiap
teleponnya.
Saat kuliah, saya termasuk anak yang
jarang pulang, mengingat sebagai anak rantau harus menghemat pengeluaran dan saya
tidak mau terlalu sering meminta kiriman uang. Beberapa kali libur panjang saya
gunakan untuk mengambil semester pendek ataupun magang. Sekalinya pulang, Mamak
selalu antusias membuatkan makanan favorit saya setiap harinya. Ya, masakan
Mamak saya memang ngangenin.
Mamak selalu bangga menceritakan
saya di depan teman-temannya. Dan Alhamdulillah 4 tahun tepat saya lulus.
Dengan matang Mamak menyiapkan segala kebutuhan untuk wisuda nanti. Ya, ini
kedua kalinya Mamak akan ke Bogor setelah mengantar saya ke asrama di tahun
pertama.
Di hari wisuda, Mamak bilang terharu
saat mendengar nama saya disebut dan melihat foto saya terpampang di layar. Saya?
Menangis saat mendengar lagu Bunda dinyanyikan oleh Paduan Suara, mengingat
bagaimana dukungan beliau kepada saya selama ini.
Mamak selalu berharap supaya saya
bekerja di dekat rumah, tapi saya ingin mengejar cita-cita disini. Mamak
bilang supaya rumah tidak sepi lagi karena setelah ditinggal Mbak dan saya, Mamak dan Abah hanya tinggal berdua di rumah. Apalagi
kalau Abah harus menginap di tempat kerjanya, Mamak sendirian di rumah. Namun sekali
lagi, beliau merelakan anaknya jauh secara raga dari mereka, demi cita-cita
sang anak.
Nyatanya pekerjaan saya saat ini
tidak se-fleksibel seperti saat saya kuliah yang bisa pulang di tanggal merah
dan akhir pekan. Dalam satu tahun kemarin, bisa dihitung dengan jari berapa
kali saya pulang. Bahkan, lebaran hari pertama pun saya lewatkan jauh dari
mereka.
“Nok, kamu masih apa? Nanti ngantor jam berapa? Tadi salat Ied dimana? Di rumah rame lho, Nok. Sava (anak Mbak saya yang masih berumur 4 tahun) dari tadi aktif banget cerewet godain Mbah Kakung-nya mulu.”
Saya bisa merasakan suara beliau
menahan tangis, pun dengan saya yang pada akhirnya pecah ketika Mamak menutup
telepon. Sekali lagi, saya tidak ingin membuat beliau khawatir.
Suatu hari saat Mbak pulang ke
rumah, ia memasangkan
TV kabel. Katanya biar Mamak bisa lihat hasil kerja saya, melihat
program-program saya walaupun bukan saya yang tampil di layar kaca.
“Nok, tadi Mamak lihat nama kamu di setiap akhir program-program beritamu.”
Dengan bangga Mamak menceritakan itu
di telepon. Seketika saya menangis, tentu saja diam-diam supaya tidak terdengar oleh beliau.
“Kapan mau pulang” kini seolah
menjadi pertanyaan wajib Mamak saat menelepon. Kangen, begitu yang Mamak
sampaikan walau hanya tersirat. Pun dengan saya yang selalu kangen ngobrol berdua dengan beliau,
membicarakan hal-hal dari yang sekedar haha-hihi sampai yang serius tentang
masa depan, kangen masakannya yang enak, kangen bikin kue lebaran bareng, kangen
tidur bareng saat saya terbangun dari mimpi buruk dan takut sendirian, kangen
akan semuanya walaupun tak jarang saya pernah membantah perintah beliau.
Tenang Mak,
anakmu ini akan segera pulang ke rumah, karena tiket pulang sudah di tangan.
Saya sadar ternyata saya hanya punya sedikit foto bersama beliau, karena beliau jarang sekali mau difoto |
*Nok – berasal dari kata Sinok, panggilan anak perempuan
di Jawa selain Nduk (Genduk)
Tulisan ini
disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya bisa diakses di
website http://nulisbarengibu.com
Heuheh nangis bacanya zha..
ReplyDeleteAlhamdulillah kerjaanku ngga se tight kamu schedulenya. Aku sering pulang. Nggak kayak temen2 lain yg travelling kemana-mana.
Bedanya aku anak sulung..tapi ya tetep diharepin juga buat pulang.
Selamat Pulang Zha....someday kita bisa selalu di samping mereka tiap hari. InsyaAllah..
Aku nulisnya aja sengaja pas di booth sendirian biar ga keliatan kalo nangis mbak hehe
DeleteIya Alhamdulillah kalo bisa sering pulang, ya sebenernya sedih sih tapi ini risiko yang dari awal aku pilih dan aku ambil jadi mau ga mau ya harus terima.
Iya makasih Mbak Nurul, Amin YRA :)