Chinatown Journey : Menuju Festival Imlek Indonesia
“Nek Imlek yo mesti udan, soale nek ora udan Cino podo nangis” – (Kalau Imlek ya pasti hujan, soalnya kalau nggak hujan etnis Tionghoa pada nangis)
Setidaknya itu yang selalu Ibu saya bilang saat masih kecil
di saat Imlek tiba. Cuaca mendung yang syahdu, berakhir dengan turunnya
hujan. Menurut Ibu saya juga, hujan saat Imlek sendiri memiliki makna akan
menambah rezeki bagi seluruh makhluk hidup.
Jika biasanya saat Imlek tiba, saya menikmati hujan di dalam
rumah sambil makan kue keranjang yang digoreng menggunakan telor khas bikinan
Ibu, Imlek tahun ini saya memilih untuk ikut Chinatown Journey yang diadakan oleh Komunitas Historia Indonesia.
Ya memang pas banget saya nggak bisa pulang sih jadi ya sambil belajar sejarah
dan perkembangan etnis Tionghoa di Jakarta deh.
Memulai Chinatown Journey
Saya mengetahui informasi tour ini dari Twitter @indohistoria. Begitu dibuka saya langsung daftar supaya dapet kuota. Sayang kalo dilewatkan event seperti ini, apalagi gratis. Oh ya, saya juga ajak teman saya, Dian alias Mpok. Jadilah kita jam 7.30 sudah sampai di meeting point, Museum Mandiri (padahal janjian jam 7 pagi haha). Langsung deh registrasi dengan menunjukkan email dari panitia lalu dibagi kelompok berdasarkan warna pita.
Saya dan Dian dapat pita warna putih (yang agak nyaru dengan
warna abu haha) dan label yang diberi nama panggilan. Tepat jam 8 pagi, founder Komunitas Historia Indonesia,
Asep Kambali, memberikan pengarahan kepada para peserta yang jumlahnya mencapai
200an orang. Mulai dari memperkenalkan para guide
tour hari ini, tempat-tempat mana saja yang akan didatangi hari ini, dan
juga cerita tentang sejarah etnis Tionghoa yang sudah ada di Jakarta sebelum
tahun 1619 saat Belanda membangun Batavia. Mereka telah tinggal di sebelah
Timur muara Ciliwung dan menjual arak, beras, serta kebutuhan sehari-hari
lainnya.
Saya mengetahui informasi tour ini dari Twitter @indohistoria. Begitu dibuka saya langsung daftar supaya dapet kuota. Sayang kalo dilewatkan event seperti ini, apalagi gratis. Oh ya, saya juga ajak teman saya, Dian alias Mpok. Jadilah kita jam 7.30 sudah sampai di meeting point, Museum Mandiri (padahal janjian jam 7 pagi haha). Langsung deh registrasi dengan menunjukkan email dari panitia lalu dibagi kelompok berdasarkan warna pita.
Seluruh peserta diberi pengarahan oleh Kang Asep |
Suku Betawi (berasal dari kata Batavia) sendiri rupanya mendapat pengaruh banyak dari etnis Tionghoa. Salah satunya bisa dilihat dari atribut pengantin betawi, seperti aksesorisnya dan juga warna bajunya.
Jalan-Jalan di Kawasan Pecinan Jakarta
Tour kali ini berbentuk walking tour. Yes jalan kaki sampe Glodok hahaha dan dipandu oleh Mba Ratih. Perjalanan dimulai dengan melewati Museum Bank Indonesia (BI) yang berada tepat di samping Museum Mandiri (tempat meeting point kita). Nah, Museum BI ini ternyata dulunya merupakan bangunan rumah sakit bernama Binnen Hospitaal di tahun 1799. Lalu di tahun 1828, bangunan ini dialihfungsikan sebagai bank dengan nama De Javashe Bank. Barulah di tahun 1953, bank ini dinasionalisasikan menjadi Bank Sentral Indonesia alias Bank Indonesia.
Berlanjut ke Jalan Bank, kita melewati Kali Krukut yang dulunya digunakan sebagai tempat plesir para menir Belanda. Kebayang nggak, dulunya banyak perahu yang melakukan perjalanan disini, terus di pinggirnya masih banyak pohon yang digunakan muda mudi sebagai tempat berkumpul dan berwisata. Hmmm.
Perjalanan selanjutnya kita menuju Jalan Malaka. Di ujung
jalan (persimpangan dengan Jalan Kalibesar Barat), terdapat bangunan Chartered
Bank yang sudah tidak terpakai. Gedung bergaya neo klasik Yunani ini dibangun
pada tahun 1920-an, saat perekonomian Hindia Belanda maju pesat, terutama dari
hasil ekspor karet, teh, kopi, dan tembakau yang laku keras di pasaran. Namun di
tahun 1965, gedung ini diambil alih oleh pemerintah RI.
Bergeser sedikit, kita sampai di Galeri Melaka, tempat
menyimpan koleksi negara bagian Malaka. Sayangnya, hari ini tutup (mungkin
karena Imlek) jadi kita tidak bisa masuk dan melihat koleksi di dalam. Galeri ini
masuknya gratis kok dan hanya tutup di hari Senin. Hmmm mungkin next time bisa mampir kali ya!
Agak maju ke depan (ya iyalah maju ke depan, mundur baru ke
belakang haha), ada papan jalan bertuliskan Jalan Tiang Bendera. Konon katanya,
di jalan itu terdapat rumah Kapitan Cina bernama Souw Beng Kong yang bertugas
melakukan pemungutan pajak kepada orang-orang Cina di Batavia. Pajak ini
diterapkan Oktober 1619 dan nantinya disetorkan kepada Belanda untuk
pembangunan kembali prasarana kota Batavia. Selain itu, ada juga pajak
permainan seperti judi, rumah pelacuran, kuku panjang (yup, kuku panjang
dianggap bangsawan sehingga pajaknya lebih besar. so, jangan lupa potong kuku guys!),
tembakau dan juga pemotongan babi. Nah, si Kapitan Cina ini setiap awal bulan
akan memasang bendera selama tiga hari sebagai pertanda warga Tionghoa untuk
membayar pajak.
Kita pun masuk ke gang kecil tembus di Jalan Pasar Pagi dan
melewati Pasar Jaya Pagi yang bangunannya masih terpengaruh bangunan Tiongkok.
Lalu sepertinya kita nyasar karena tidak bertemu rombongan yang lain L dan hujan yey! J
Lalu sepertinya kita nyasar karena tidak bertemu rombongan yang lain L dan hujan yey! J
Rupanya tour semacam
ini di hari Imlek banyak dilakukan oleh berbagai komunitas. Beberapa kali di
jalan, kita pas-pasan sama rombongan yang lain dan sama sama dress code nya warna merah haha.
Tour kita
berlanjut di SMA Negeri 19 Jakarta yang terletak di Jalan Perniagaan. Bangunan ini
merupakan tempat pertama kalinya organisasi Tionghoa modern di Kota Batavia. Pada
17 Maret 1900, berdiri perhimpunan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mengupayakan
agar anak-anak Tionghoa juga harus memperoleh pendidikan (pemerintahan Belanda
tidak pernah memberikan pendidikan kepada warga Tionghoa huff). Hal ini tampak
juga dari bangunan gedung lamanya yang masih khas Tiongkok (tepatnya di bagian pintu/jendela).
Sementara itu, kawasan jalan Perniagaan sendiri dulunya
disebut dengan Patekoan. Konon, dulu ada keluarga Tionghoa (Kapiten Gan Jie)
yang baik hati dan selalu menyediakan 8 teko air minum bagi orang-orang yang
haus di perjalanan.
Selain itu, di jalan ini juga ada bangunan tua berupa “Rumah Keluarga Souw” yang merupakan keluarga kaya raya atau bangsawan. Hal ini ditandai dengan atap rumahnya bergaya Ekor Walet dengan ukiran hias yang indah. Berbeda dengan rumah di sebelahnya yang atapnya berbentuk Pelana Kuda yang menandakan rumah tersebut dulunya milik warga Tionghoa dari kasta biasa.
Selain itu, di jalan ini juga ada bangunan tua berupa “Rumah Keluarga Souw” yang merupakan keluarga kaya raya atau bangsawan. Hal ini ditandai dengan atap rumahnya bergaya Ekor Walet dengan ukiran hias yang indah. Berbeda dengan rumah di sebelahnya yang atapnya berbentuk Pelana Kuda yang menandakan rumah tersebut dulunya milik warga Tionghoa dari kasta biasa.
Perjalanan berlanjut ke Jalan Kemenangan III untuk menuju
Klenteng Toa Se Bio. Klenteng ini merupakan salah satu klenteng tertua yang
dibangun sekitar tahun 1670an. Nuansa merah dengan hiasan lampion dan lilin
berwarna senada menyambut kedatangan kita di klenteng ini. Beberapa warga etnis
Tionghoa melakukan sembahyang di depan hiolo besar di Klenteng ini.
Berjalan ke pojok ruangan, terdapat pagoda tinggi nan cantik
tempat lampu minyak umat. Selain itu, lampu minyak juga diletakkan dalam gelas
yang berada di dua sisi setelah pagoda ini. Ah cantik sekali!
Tak ingin mengganggu warga yang sembahyang, kita pun
melanjutkan perjalanan ke Gereja Katolik Santa Maria De Fatima atau Gereja
Toasebio. Gereja ini merupakan satu-satunya gereja dengan arsitektur Tiongkok
(tepatnya khas Fukien atau Tiongkok Selatan) di Jakarta (dan mungkin di
Indonesia kalau kata pemandu kita).
Konon, semua batang kayu dan ukiran didatangkan langsung dari Tiongkok dan pemasangannya sama sekali tidak menggunakan paku besi di gereja yang dibangun pada abad 19 ini. Oh ya, gereja ini juga menyediakan satu hari misa khusus berbahasa Mandarin bagi warga Jakarta etnis Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Indonesia lho!
Daaaaan perjalanan Chinatown
Journey kita berakhir di Petak Sembilan alias Wihara Dharma Bakti. Klenteng
ini jauh lebih ramai daripada Klenteng Toa Se Bio, tak hanya warga yang
sembahyang, tetapi juga para warga yang (maaf) mengemis. Beberapa media pun
melaporkan kegiatan imlek di tempat ini (tapi nggak ketemu temen setim haha).
Konon, semua batang kayu dan ukiran didatangkan langsung dari Tiongkok dan pemasangannya sama sekali tidak menggunakan paku besi di gereja yang dibangun pada abad 19 ini. Oh ya, gereja ini juga menyediakan satu hari misa khusus berbahasa Mandarin bagi warga Jakarta etnis Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Indonesia lho!
Pemandangan di awal masuk Petak Sembilan |
Di sebelah kiri gerbang bergapura naga merah, terdapat tiga
bangunan klenteng yang berderet. Lalu di bergeser ke lebih tengah, terdapat klenteng
utama yang menghadap ke selatan. Di dalamnya terdapat lilin-lilin merah
berukuran besar, bahkan tingginya melebihi saya.
Namun di tahun 2015, tepatnya di awal bulan Maret, si jago
merah sempat menghanguskan klenteng ini. Ratusan patung dewa dan gong bersejarah
ikut terbakar serta tertimpa reruntuhan puing-puing. Bahkan di klenteng utama
ini, bisa dilihat atapnya yang masih menghitam. Ini memang belum direnovasi
karena masih menunggu hari baik. Satu benda yang tersisa adalah meja altar di
Hui Tek Bio.
Sebenarnya kalau di poster, kita masih mengunjungi Pusat
Kuliner Gloria dan Glodokpein sebagai ending
point-nya tapi pemandu membubarkan grup kita di Petak Sembilan ini (pemandu kita agak kurang komunikatif sih, penjelasannya sedikit sekali). Alhasil
karena tidak tahu jalan pulang, saya dan Dian ikut rombongan tim abu keluar menembus
pasar di Jalan Kemenangan.
Meja altar ini yang katanya jadi satu-satunya peninggalan asli yang tersisa dari kebakaran 2015 silam |
Beberapa mampir untuk membeli kue keranjang. Hmmmm
Tak lupa kita mampir untuk jajan gerobakan yang terlihat amat sangat menggoda karena ternyata jalan kaki selama tiga jam itu membuat lapar sekali! (padahal awalnya nggak kerasa huff)
Salam dari Tim Putih yeay! |
Pengalaman Makan Yu Shang
Beberapa hari sebelum ikut Chinatown Journey, saya sempat meliput kuliner khas imlek di Crystal Jade Restaurant Gandaria City, yakni Yu
Shang. Makanan yang dihidangkan setahun sekali ini mirip salad dan
masing-masing bahannya memiliki arti lho!
Seperti ikan mentah yang memiliki harapan agar rezeki
bertambah terus setiap tahun, jeruk nipis yang berarti ketentraman dan
kebersamaan dalam keluarga, pangsit goreng yang berarti emas kekayaan melimpah,
minyak wijen untuk kekayaan berlimpah, saus plum untuk kebahagiaan dan
kedamaian, bubuk lada untuk kelancaran dan kemudahan dalam hidup, serta bahan
bahan lainnya seperti kacang, jahe merah, rumput laut, jeruk bali, jahe, lobak,
wortel dan ubur ubur yang memiliki arti positif pula.
Bahkan saat penyajiannya pun tetap diucapkan doa-doa. Kira-kira
begini urutannya
Uniknya lagi, saat mengaduk, kita harus tinggi-tinggian mengangkat sumpit. Hal ini berarti harapan kita supaya rezeki meningkat pula. Sambil mengucap “lo hei” saat mengaduknya. Dan makannya pun harus sambil berdiri karena duduk memiliki arti murung dan menghambat rezeki.
Uniknya lagi, saat mengaduk, kita harus tinggi-tinggian mengangkat sumpit. Hal ini berarti harapan kita supaya rezeki meningkat pula. Sambil mengucap “lo hei” saat mengaduknya. Dan makannya pun harus sambil berdiri karena duduk memiliki arti murung dan menghambat rezeki.
Rasanya? Enak! Campuran asem dan manis. Ini baru pertama
kali saya makan Yu Shang saat imlek. Biasanya cuma makan mie atau kue keranjang
aja hehe.
Ingin Ke Festival
Imlek Indonesia!
Perayaan Imlek tentu tak lepas dari Cap Go Meh yang
dirayakan di hari ke-15 sejak pergantian tahun baru Imlek. Biasanya saat Cap Go
Meh ini akan ada pawai dan festival budaya, serta kuliner khas Imlek. Iya, saya
pernah ke Cap Go Meh di Bogor soalnya hehe.
Dan tahun ini, Festival Imlek Indonesia akan digelar di PSCC
Palembang, Sumatera Selatan, tanggal 11-12 Februari mendatang. Mau banget
doooong lihat perayaan imlek di luar Jawa karena biasanya cuma ya lihat di
Bogor atau Pekalongan pas pulang. Oh ya, event
ini diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kompas
Gramedia Group. Jadi sambil menyelam minum air lah ya, liat festival imlek
sekalian wisata di Palembang. Mau banget!
Di festival ini, tak hanya pawai khas imlek aja lho. Tetapi
juga ada pertunjukan drama kolosal dan sendratari legenda Pulau Kemaro,
pergelaran tari, demo masak, stand up
comedy, wayang potehi show,
pemutaran film dan masih banyak lagi workshop
serta pertunjukan lainnya. Dan yang terpenting, event ini gratis lho!
Yuk dateng! Barangkali kita bisa bareng lho~ Apalagi banyak
promo dari hotel yang jadi partner duh
ah jadi tergoda kan cus ambil cuti deh!
Berhubung ini perayaan imlek, sudah pasti dong siapkan outfit bernuansa imlek terbaikmu ya! Tentunya dengan warna dominan merah karena warna ini melambangkan keberuntungan dan sukacita. Jangan
lupa bawa kamera terkece dan live di
Instagram serta upload foto-foto kece
di sosial media dengan hashtag
#pesonasriwijaya, #festivalimlekindonesia, #wonderfulsriwijaya, #sriwijayapost,
#tribunsumsel dan #tribuneo. Salam anak hashtag! Hahaha
Untuk info lebih lanjut, kamu bisa buka official website-nya disini. Sampai ketemu di Festival Imlek Indonesia ya!
XOXO!
Zakia
PS.
All photos taken by Sony Xperia C5 Ultra Dual yang masih setia menemani dan jadi andalan buat foto foto kece :*
smeoga kita bisa ke Palembang bareeeng
ReplyDeleteamin mba nayyyy semoga rezeki ya hihi
DeleteKeren!! Aku kemarin ikutan acara imlek di Aston Marina & mengeliat prosesi Yu Shang ini :D
ReplyDeletewaaah seru kah acara imlek di Aston Marina? Hihi enak kan Yu Shang aku suka deh makan itu, abis rasanya unik banget manis asem gitu :D
DeleteHiii, aku juga ikut lomba blogging ini walopun aslinya memang based di Palembang :D Tulisanmu padat dan menarik sekalii, dan jadi inget ada temen yang update ikut jalan-jalan tour ini di instagram. Good luck yaa
ReplyDeleteHihi sebenernya masih banyak informasinya cuma kalo dimasukin semua nanti jadi penuh banget hehe. Good luck for you too! Barangkali kita bisa ketemu di festival itu :D
Deleteaku penasaran deh sama petak 9, nanti kalo ke jakarta mau coba lihat langsung.
ReplyDeleteEmmm kemarin pas aku kesana sih terlalu ramai jadi kurang begitu menikmati. Mending coba juga mampir ke Klenteng toasebio nya juga deh :)
DeleteAh ini jadi salah satu alasan lagi mengunjungi Bandung :D
ReplyDeleteEh ini di Jakarta lho percaya ga :D
DeleteKeberagaman ya mba... senangnya di Surabaya juga rame dengan Imlek
ReplyDeleteYup. Saling menghargai. Toleran. Seru jadinya :)
Delete