[REVIEW BUKU] : RADEN MANDASIA SI PENCURI DAGING SAPI - YUSI AVIANTO PAREANOM
Identitas Buku
Judul : Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis : Yusi Avianto Pareanom
Penerbit : Banana
Tahun Terbit : Cetakan Kedua edisi Kedua, Oktober 2017
Jumlah Halaman : 470 halaman
Sinopsis
Sungu Lembu menjalani hidup membawa dendam. Raden Mandasia
menjalani hari-hari memikirkan penyelamatan Kerajaan Gilingwesi. Keduanya bertemu
di rumah dadu Nyai Manggis di Kelapa. Sungu Lembu mengerti bahwa Raden Mandasia
yang memiliki kegemaran ganjil mencuri daging sapi adalah pembuka jalan bagi
rencananya. Maka, ia pun menyanggupi ketika Raden Mandasia mengajaknya menempuh
perjalanan menuju Kerajaan Gerbang Agung.
Berdua, mereka tergulung dalam pengalaman-pengalaman
mendebarkan: bertarung melawan lanun di lautan, ikut menyelamatkan pembawa
wahyu, bertemu dengan juru masak menyebalkan dan hartawan dengan selera makan
yang menakjubkan, singgah di desa penghasil kain celup yang melarang penyebutan
warna, berlomba melawan maut di gurun, mengenakan kulit sida-sida, mencari cara
menjumpai Putri Tabassum Sang Permata Gerbang Agung yang konon tak pernah
berkaca – cermin-cermin di istananya bakal langsung pecah berkeping-keping
karena tak sanggup menahan kecantikannya, dan akhirnya terlibat dalam perang
besar yang menghadirkan hujan mayat belasan ribu dari langit.
Meminjam berbagai khazanah cerita dari masa-masa yang
berlainan, Yusi Avianto Pareanom menyuguhkan dongeng kontemporer yang memantik
tawa, tangis, dan maki-makian Anda dalam waktu berdekatan – mungkin bersamaan.
Setelah membaca...
Sebelumnya, saya mau mengakui satu hal. Membaca dongeng dengan
latar belakang sejarah kuno (setting kerajaan-kerajaan) sebenarnya tidak terpikirkan oleh saya. Saya memang
suka buku dengan setting sejarah
Indonesia, tapi kaya sebatas latar sejarah tahun 1965 atau Orde Baru, seperti koleksi
buku saya selama ini. Well, buku
Raden Mandasia ini direkomendasikan oleh teman saya, Mas Fahmi, saat saya
meminta rekomendasi buku bacaan di Instagram (iya, buku saya sudah habis dibaca
huff).
Ada tiga buku yang direkomendasikan oleh teman-teman saya kala
itu yang menarik perhatian. Dua diantaranya saya dapatkan di toko buku
Gramedia. Nah si Raden Mandasia ini nggak nemu, bahkan pas dicari sama CS
Gramed juga nggak ada. Usut punya usut, ternyata ini buku indie, guys! Saya pun akhirnya membeli buku ini
di Post (via Instagram). Harganya 85K kalau nggak salah.
Semula saya berpikir bahwa Raden Mandasia lah main character-nya dalam buku ini, tapi
ternyata buku ini lebih banyak menggunakan sudut pandang si Sungu Lembu. Semuanya
malah. Ya, Sungu Lembu pemeran utamanya. Cerita dibuka dengan pengalaman mereka
(Sungu Lembu bersama Raden Mandasia) yang dikejar prajurit setempat setelah
mencuri daging sapi. Ini adalah kebiasaan ganjil yang dimiliki oleh Raden
Mandasia. Memotong daging sapi hidup-hidup dengan cara yang tak biasa (bukan
menyembelih ya), kemudian mengambil bagian lulur atau daging yang tepat berada
di kiri-kanan punggung tengah (has dalam, has luar, dan daging yang menempel
pada tulang yang berbentuk beliung kecil), menata rapi sisanya, lalu meletakkan
sejumlah uang perak ataupun emas layaknya membayar daging.
Beneran unik sih, soalnya Raden Mandasia itu salah satu
pangeran di kerajaan Gilingwesi. Ayahnya, Prabu Watugunung, seorang raja yang
diyakini memiliki kesaktian dan kekuatan saat berperang. Gilingwesi sendiri menguasai
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya (layaknya menjajah). Nah, Banjaran Waru,
tempat tinggal Sungu Lembu, juga (pada akhirnya) dikuasai oleh Gilingwesi
(tanpa perang perebutan wilayah). Banyak yang tidak terima, termasuk Sungu
Lembu dan beberapa saudaranya. Hingga akhirnya kejadian di rumah Banyak Wetan
(paman Sungu Lembu) membuat dirinya membawa dendam terhadap Watugunung. Ia bertekad
untuk memenggal kepala si Watugunung.
Perjalanan Sungu Lembu nggak selamanya mulus. Berkelana dari
satu tempat ke tempat lain, menyamarkan identitas, sampai akhirnya bertemu Nyai
Manggis di Kelapa. Di Rumah Dadu milik Nyai Manggis inilah, Sungu Lembu bertemu
Raden Mandasia hingga akhirnya mereka berkelana bersama ke Gerbang Agung demi
mewujudkan misi Raden Mandasia yang sebenernya ‘kentang’. Di Kelapa sendiri
banyak kejadian dan peperangan (yang mengakibatkan Nyai Manggis meninggal). Tapi
pengalaman setelahnya juga nggak kalah bikin deg-deg-an. Ya kurang lebih
seperti yang tertulis di sinopsis deh sampai akhirnya ketemu Putri Tabassum
juga. Hehe.
"Dunia milik orang yang berani, demikian kata seorang pujangga Atas Angin yang pernah kudengar..." (p. 72)
Alur, penggambaran dan cara bercerita dari Yusi Avianto
sendiri smooth banget (biar
maju-mundur-maju), jadi mudah dimengerti. Pas baca, di otak tuh semacam
langsung kebayang adegan demi adegannya (settingannya
di otak saya sih kaya film-film kerajaan di Indosiar haha). Masing-masing bab
dan sub bab juga nggak begitu panjang jadi enak bacanya. Mengalir gitu. Hehe.
Jangan bayangkan ini dongeng yang bisa dibacakan ke anak-anak
sebagai pengantar tidur, karena sejatinya ini novel ‘dewasa’. Tapi dari segi
diksi, karakter tokohnya yang kuat, deskripsinya, humor, dan plot twist-nya, buku ini bikin begadang.
Karena mau berhenti baca, tapi penasaran kelanjutannya. Ujungnya tidur jam 2
pagi haha. Banyak kejutan di dalamnya yang bener-bener nggak bisa ditebak. Sesekali
bikin ketawa juga kesel.
Yang paling nggak disangka dari membaca buku ini itu adalah...
saya nangis. Hahaha. Jadi di satu momen perang besar antara kerajaan Gilingwesi
dan Gerbang Agung, Raden Mandasia akhirnya meninggal karena terluka saat
bertarung. Emosi Sungu Lembu bener-bener tersampaikan, betapa sedihnya dia
ditinggalkan ‘kawan berpetualang’. Padahal semula, dia lumayan sebal dengan
Raden Mandasia karena kebiasaannya yang ganjil dan juga dirinya yang merupakan
putra Watugunung, dendamnya selama ini. Cara Sungu Lembu me-recall pengalaman dan petualangan mereka
bersama itu... sedih.
"Kemenangan terhebat dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu lagi mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati." (p. 88)
Seperti yang saya bilang, buku ini suka memberi kejutan yang
tak disangka. Dan ini terjadi di bagian akhir cerita. Sungu Lembu yang akhirnya
bertemu kembali dengan ‘pengalaman pertama’-nya. Itu nggak terpikirkan oleh
saya sih. Saya kira tokoh itu hanya selewat saja haha. Bahkan kalimat
terakhirnya bikin penasaran lho sampai saya googling
cerita itu haha. Kali aja kan ini cerita asli tapi pake nama-nama kiasan (kaya
nama tempat atau kerajaan gitu), tapi yaaa ini hanya dongeng, guys!
Saya sih cukup kaget dengan buku ini. Saya nggak expect apapun pas baca, tapi membacanya sampai
selesai bener-bener membuat saya puas (dan ketagihan). Ini buku dengan genre
silat-kolosal pertama yang saya baca. Saya sih rekomendasiin ke kalian buku
ini. Serius. Ini seru. Baca deh. Kalau dikasih nilai, saya sih kasih nilai 9
dari 10. Yeay!
Anyway, selamat
membaca ya!
XOXO!
Za
makasih reviewnya
ReplyDelete